Atap Motif Alang-Alang Utomodeck Menambah Elok Museum Islam Indonesia
utomodeck.com – Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari. Gedung lima lantai yang terletak di dalam komplek Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur, itu merupakan museum yang berisi tentang kisah masuknya agama Islam di Indonesia serta perkembangannya. Juga ihwal peran KH. Hasyim Asy’ari beserta anak dan cucunya. Termasuk KH. Abdurahman Wahid, Presiden Indonesia ke-4 yang lebih dikenal dengan sapaan Gus Dur.
Museum dengan luas bangunan lebih kurang 5.000 meter persegi itu berdiri di atas lahan seluas 4,6 hektare. Inilah museum Islam pertama dan terbesar di Indonesia. Diresmikan beroperasinya oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa, 12 Desember 2018 lalu. “Melalui museum ini kita diingatkan bahwa Islam masuk ke nusantara dengan proses yang sangat damai dan Islam berkembang di Indonesia dengan dialog dan menggunakan media budaya lokal,” kata Presiden Jokowi beberapa saat sebelum meresmikan museum itu, seperti dikutip idealoka.com.
Museum ini diprakarsasi oleh KH. Sholahudin Wahid. Menurut penjelasan Sugeng Gunadi, salah seorang perancang museum tersebut, KH Sholahudin, Adik Gus Dur, yang biasa disapa Gus Sholah itu ingin menyuguhkan pengetahuan tentang sejarah Islam di Indonesia kepada masyarakat yang melakukan ziarah ke makam Gus Dur. Setiap hari mencapai sekitar 9.000 orang. “Setelah mereka ziarah, apa yang perlu disajikan kepada mereka. Maka muncullah ide Gus Sholah mendirikan museum,” ujar Sugeng saat diwawancarai utomodeck.com. Sugeng dan Gus Sholah, yang saat ini menjadi pengasuh Ponpes Tebu Ireng adalah sesama alumnus ITB.
Gagasan Gus Sholah itu pada tahun 2010 didengar oleh Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat Presiden RI ke-6. Pemerintah pun membiayai pembangunan museum melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta Pemerintah Kabupaten Jombang.
Pihak pengelola museum tampaknya ingin menambah keelokan museum. Beberapa bagian atap diganti. Semula menggunakan atap dari bahan semacam mika, diganti dengan dengan atap baja ringan produksi PT. Utomodeck Metal Works. Dipilihlah atap dengan motif alang-alang dengan warna kuning kecoklatan.
Menurut penilaian Sugeng, dari sisi arsitektur museum atap Utomodeck itu memenuhi syarat. Juga sesuai dengan kebutuhan elemen-elemen atap museum yang dirancangnya. “Dari sisi keguaannya, pas. Relevan dengan tuntutan arstektur,” ucap arsitektur lulusan ITB yang juga adik kelas Gus Sholah itu.
PT. Utomodeck memproduksi dan melakukan pemasangan. Jenis atap yang dipilih adalah tipe Utomozip, salah satu atap unggulan Utomodeck. Utomozip merupakan atap yang diproduksi oleh PT. Utomodeck untuk memenuni alternatif solusi bagi para arsitek dan para perencana yang membutuhkan atap khusus sebagai mahkota bangunan masa kini yang modern, unik serta memenuhi tuntutan estetik. Utomozip juga memiliki kelebihan karena sistem pemasangan atap tanpa baut tipe standing seam. Dapat diaplikasikan untuk desain lengkung dan mengerucut. Menggunakan teknologi seaming pada overlap antar lembarannya sehingga tidak memerlukan baut yang bisa melukai atap sehingga terhindar dari resiko kebocoran pada overlap. Panjang profil dapat menyesuaikan kebutuhan dan dapat diproduksi tanpa sambungan.
Setiap lembaran atap yang dipasang di Museum Islam Indonesia KH Hasyim Asy’ari juga tanpa sambungan. Para pekerja Utomodeck menghadapi tantangan dalam melakukan pemasangan. Bukan saja menjaga kesesuaian elemen atap bagian lainnya. Tapi juga derajat kemiringan atap. Pemasangan pun dilakukan secara manual. Lazimnya, Utomodeck menggunakan teknologi Mobile System untuk mengangkat lembaran atap ke rangkanya. Tapi terkendala lahan yang sempit – dan setiap hari dipenuhi para peziarah yang lalu lalang– yang tidak memungkinkan kendaraan Mobile System bergerak dengan leluasa. Menaikkan setiap lembar atap pada akhirnya menggunakan tenaga manusia dalam kondisi terik matahari serta tiupan angin yang kencang.
Pemasangan dilakukan pada empat sisi. Dua sisi pada bagian belakang dan dua sisi pada bagian depan. Masing-masing sisi terdiri dari 7 lembar atap. Pada bagian belakang, panjang setiap lembar atap 42,45 meter. Sedangkan bagian depan 32,25 meter per lembar. Seluruhnya 28 lembar atau dengan luas total 619,64 meter persegi. PT. Utomodeck juga memasang Flashing, yakni penutup pada setiap sudut ujung lembaran agar tidak terjadi kebocoran pada saat hujan.
Bagi PT. Utomodeck, memproduksi dan memasang atap dengan motif alang-alang dengan warna kuning kecoklatan di Meseum Islam Indonesia KH. Hasyim Asy’ari bukanlah yang pertama. Sebelumnya sudah dilakukan di sebuah pusat perbelanjaan dan hiburan di Kota Denpasar, Bali. Itu bahkan demi mengikuti kaidah-kaidah yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung di Bali.
Dalam Perda tersebut antara lain disebutkan bahwa bangunan gedung dapat menjamin keselamatan penghuni dan lingkungannya serta mengakomodasi nilai-nilai luhur budaya masyarakat Bali, maka bangunan gedung harus diselenggarakan berdasarkan falsafah Tri Hita Karana, nilai-nilai luhur budaya masyarakat Bali dalam bidang arsitektur bangunan gedung, prinsip-prinsip arsitektur tradisional Bali, persyaratan-persyaratan bentuk karakter dan prinsip-prinsip arsitektur bangunan gedung.
Karakter ornamen dan elemen-elemen arsitektur Bali harus melekat pada bangunan gedung, termasuk bangunan sebagai tempat kegiatan usaha. Bangunan gedung sebagai tempat kegiatan usaha, memang tidak harus menerapkan norma-norma tradisional Bali secara utuh, tapi tetap harus ada bagian-bagian yang menampilkan gaya arsitektur tradisional Bali.
Pada bangunan pusat perbelanjaan dan hiburan yang berdiri di atas lahan 1,8 hektare tersebut bukan hanya atap. Tapi juga dinding. PT. Utomodeck memperhatikan betul ketentuan yang dituangkan dalam Perda tersebut. Dituntut kreatifitas yang tinggi sehingga secara artificial memenuhi ciri khas dari sisi bentuk, warna, bahan, hingga ornamen arsitektur Bali. Total luas atap dan dinding bermotif alang-alang mencapai lebih dari 20.000 meter persegi.
Leave a Reply