Building Integrated Photovoltaics Kian Prospektif, PT Utomodeck Merambah ke Bisnis Thin Film
utomodeck.com – Bentuk arsitektur bangunan kian berkembang dan bervariasi karena tuntutan estetika. Sejalan dengan itu para perencana atau engineer berupaya mengkombinasikan bentuk aristektur bangunan dengan konsep penghematan sumber daya listrik sebagai sumber pencahayaan bangunan. Seoptimal mungkin menggunakan komponen teknologi sel surya, yang saat ini kian populer adalah Thin Film, melalui konsep Building Integrated Photovoltaics (BIPV) yang saat ini kian prospektif di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Bisnis utama PT. Utomodeck Metal Works adalah memproduksi atap baja ringan. Masih berkaitan dengan bisnis utamanya, PT. Utomodeck mengembangkan bisnis solar rooftop yang diaplikasikan pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Solar rooftop adalah pembangkit listrik pribadi yang dipasang di atas atap bangunan yang dapat digunakan untuk kebutuhan penggunaan listrik sendiri (self-consumption). Dilengkapi Solar cell panel yang dapat dimanfaatkan oleh konsumen hingga 25 tahun.
Masih berkaitan dengan pengadaan listrik sendiri (self-consumption) itulah PT. Utomodeck merambah ke bisnis Thin Film, Diversifikasi bisnis ini memanfaatkan kelebihan Indonesia yang secara geografis dilalui oleh garis ekuator, yang secara alamiah memiliki iklim tropis. Debit cahaya matahari secara umum per tahun lebih banyak jika dibandingkan dengan negara subtropis.
Dinding kaca pada bangunan-bangunan pencakar langit bukan semata sebagai bagian estetika gedung. Dinding kaca yang dilapisi Thin Film Solar Cell sekaligus berfungsi sebagai pembangkit listrik. Inilah yang disebut dengan konsep BIPV. Konsep BIPV juga merupakan solusi mengatasi kebutuhan listrik tanpa bergantung sepenuhnya pada aliran listrik PLN. Sekaligus juga sebagai contigency pada saat terjadi blackout akibat terjadinya kerusakan jaringan suplai listrik PLN seperti yang terjadi pada hari Minggu, 4 Agustus 2019 lalu.
Thin film solar cell adalah sel surya generasi kedua yang dibuat dengan menempatkan satu atau lebih lapisan tipis dari bahan photovoltaic pada suatu substrat, seperti kaca, plastic atau logam. Thin film solar cell dibuat dari beberapa teknologi termasuk cadmium telluride (CdTe), Copper Indium Gallium Diselenide (CIGS), dan Amorphous Thin-Fim Silicon (a-Si, TF-Si).
Ketebalan thin film bervariasi dari beberapa nanometer (nm) hingga puluhan micrometer (μm). Jauh lebih tipis dibandingkan dengan sel surya generasi pertama crystalline Silicon (c-Si) yang menggunakan tumpukan dengan ketebalan 200 μm. Meski tipis, thin film memiliki struktur yang fleksibel dan sangat ringan. Hal ini juga digunakan untuk membuat photovoltaic yang terintegrasi dan semi transparan yang dapat dilaminasi pada kaca, yang banyak digunakan sebagai dinding bangunan-bangunan berarsitektur modern.
Teknologi yang sering digunakan pada thin film adalah Armophous Silicon (a-Si), CdTe (Cadmium Telluride) dan CIGS (Copper Indium Gallium Selenium). Keduanya memiliki bahan penyusun yang berbeda, yang masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan.
Bahan penyusunnya, antara lain A-Si, yakni Armophous solar panel merupakan thin film yang terbuat dari silicon dengan menempatkan non-crystalline silicon pada sebuah substrat seperti kaca, metal, atau plastic. Ketebalan silicon yang ditempatkan pada armophous solar panel kurang lebih 1 micrometer. Ada pula CdTe, yakni bahan penyusun Tellurium yang merupakan bahan yang langka. Nilai kelangkaannya hampir sama dengan emas. Tellurium diekstrak saat penambangan tembaga, dan kuantitasnya sangat kecil. Cadmium juga merupakan penyusun dari CdTe thin film yang merupakan elemen yang beracun meskipun tidak akan ada masalah saat digunakan. Keunggulan CdTe adalah proses pembuatan yang lebih mudah sehingga lebih murah dari thin film yang lain.
Selain itu ada pula CIGS, yakni bahan penyusun bukan dari bahan berbahaya. Kekurangan CIGS adalah pembuatannya yang lebih rumit dari pembuatan solar dengan bahan Crystalline Silicon, meskipun pada umumnya pembuatan thin film memiliki proses yang lebih mudah dari pembuatan solar panel dari crystalline silicon. Hal ini disebabkan karena CIGS memiliki empat bahan penyusun (Copper Indium Gallium Selenium), dan empat bahan tersebut harus memiliki rasio yang pas. Kerumitan dalam proses pembuatan membuat CIGS memiliki harga yang lebih mahal dari CdTe thin film.
Kendala dalam teknologi thin film adalah modul thin film yang cepat mengalami degradasi daripada modul PV dengan teknologi c-Si. Pada mulanya teknologi thin film memiliki masa kerja atau masa pakai kurang lebih 10 tahun. Tapi saat ini, berdasarkan beberapa penelitian, CIGS thin film mampu bekerja hingga 20 tahun. Dan banyak peneliti yang masih melakukan riset untuk meningkatkan lifetime CIGS thin film, yang merupakan teknologi thin film yang paling efisien saat ini.
Banyak penelitian dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dari solar panel dan menurunkan biaya pembuatan dari thin film ini. Pada tahun 2016, sebuah penelitan mendapatkan efisensi dari CIGS thin film sebesar 22.6%, efisiensi ini mengalahkan efisensi dari polycrystalline silicon sebesar 21.9%. Dengan efisensi 22.6%, CIGS solar panel masuk dalam rekor dunia sebagai thin film dengan efisiensi tertinggi. Dan dalam penelitan ini disebutkan bahwa efiensi ini bukanlah batas dari efisensi CIGS, jika mekanisme rugi – rugi dihilangkan, maka efisiensi dapat mencapai 30%.
Adapun konsep BIPV adalah teknologi yang mengintegrasikan elemen surya ke dalam bangunan untuk menghasilkan listrik. BIPV sangat serbaguna: ini dapat diterapkan pada permukaan melengkung; bisa dibuat khusus/custom; BIPV dapat berbeda warna atau transparan sehingga mereka dapat diintegrasikan ke dalam jendela; dan BIPV bahkan dapat dibuat dari bahan yang fleksibel. Berbagai macam produk BIPV ini akan mendukung konsumen karena BIPV dapat beradaptasi dengan kebutuhan spesifik dari konsumen itu sendiri.
Ada empat jenis utama produk BIPV, yakni panel surya silikon kristalin untuk pembangkit listrik di darat maupun atap; panel surya silikon amorf yang bisa berongga, terang, merah biru kuning, sebagai dinding tirai kaca dan langit-langit yang transparan; modul thin film CIGS (Copper Indium Gallium Selenide) fleksibel yang dilaminasi ke elemen bangunan atau sel CIGS yang dipasang langsung ke substrat bangunan; serta panel surya bifacial dengan sel persegi di dalamnya.
Istilah building-applied photovoltaics (BAPV) kadang-kadang digunakan untuk merujuk ke fotovoltaik yang merupakan retrofit – diintegrasikan ke dalam bangunan setelah konstruksi selesai. Sebagian besar building-integrated photovoltaics sebenarnya adalah BAPV. Beberapa produsen dan pembangun membedakan BIPV konstruksi baru dari BAPV.
Alikasi PV untuk bangunan mulai muncul pada tahun 1970-an. Modul fotovoltaik berbingkai aluminium yang dipasang pada bangunan yang biasanya di daerah terpencil tanpa akses ke jaringan listrik. Pada 1980-an, modul fotovoltaik rooftop mulai diperagakan. Sistem PV ini biasanya dipasang pada bangunan yang terhubung ke jaringan utilitas di daerah dengan pembangkit listrik terpusat.
Pada 1990-an, produk konstruksi BIPV yang dirancang khusus untuk diintegrasikan pada bangunan mulai tersedia secara komersial. Sebuah tesis doktoral tahun 1998 oleh Patrina Eiffert, berjudul An Economic Assessment of BIPV, berhipotesis bahwa suatu hari akan ada nilai ekonomi untuk perdagangan Kredit Energi Terbarukan / Renewable Energy Credits (RECs). Penilaian ekonomi 2011 dan tinjauan singkat tentang sejarah BIPV oleh Laboratorium Energi Terbarukan A.S.
Amerika Serikat menunjukkan bahwa mungkin ada tantangan teknis yang signifikan untuk diatasi sebelum biaya pemasangan BIPV bersaing dengan panel fotovoltaik. Namun, ada konsensus yang berkembang bahwa melalui komersialisasi BIPV yang luas, sistem BIPV akan menjadi tulang punggung Zero Energy Building (ZEB) Eropa untuk tahun 2020. Di samping janji teknis, hambatan sosial untuk penggunaan luas juga telah diidentifikasi, seperti budaya konservatif dar bangunan industri dan integrasi dengan desain perkotaan kepadatan tinggi.
Leave a Reply